Metun Sajau adalah sebuah desa Dayak di Kecamatan Tanjung Palas Timur, Bulungan,
Kalimantan Utara, Indonesia. Desa ini berada di bagian timur Kabupaten
Bulungan, berbatasan langsung dengan Wonomulyo, Jelarai, Pura Sajau, dan Kabupaten
Berau, Kalimantan Timur yang mayoritas didiami masyarakat etnis Dayak Kenyah
Bakung.
Desa ini secara adiministratif disebut Desa Sajau oleh Pemerintah Kabupaten Bulungan untuk mengumpulkan orang Dayak Punan yang hidup terpencar di hutan, namun tidak lama mereka berkumpul di Desa Sajau mereka kembali berpencar ke hutan sehingga desa Sajau tidak berpenghuni.
Sedangkan masyarakat etnis Bakung urbanisasi
ke wilayah tersebut pada tahun 1983, dengan jumlah anggota kurang lebih 700
jiwa, yang kemudian mempopulerkan nama wilayah tersebut sebagai Metun Sajau. Namun secara administratif kepemerintahan masih sebagai desa Sajau karena permintaan Pemerintah Kabupaten Bulungan untuk tidak membuat desa bari tetapi menggunakan administrasi desa yang sudah ada.
Hari ulang tahun
Metun Sajau 1 November, dirayakan pertama kali pada tahun 2013 oleh masyarakat Dayak Kenya Bakung.
Kepala desa Sajau pertama kali adalah Amir dari Dayak Punan, menggantikannya adalah Gung Ajang dari Dayak Bakung. Kemudian tahun 1998
pada pemilihan kepala desa selanjutnya, Anye Ajang terpilih menjadi kepada desa ketiga. Selanjutnya terpilih Lifan Usat (1994 - 2011), Heryanto (2012 - 2017), Suto Lahang (Pjs, 2017 - 2019.
Sejalan dengan pemilihan kepala desa, masyarakat Metun Sajau juga masih
menganut sistem adat dengan dipimpin kepala adat,―dalam sistem pemerintahan
desa tidak terlalu dominan―sebagai lambang upaya melestarikan dan mengembangkan
nilai-nilai budaya dan adat-istiadat lokal. Sejak masyarakat etnis Bakung
mendiami Metun Sajau, tercatat pernah menjadi kepala adat Pegung Ajang, Lifan
Usat sekarang.
Sejarah
Masyarakat etnis Bakung―(lihat Lahang, et al. 2000)1―berasal
dari desa Telang Usan, Malaysia, yang melakukan perjalanan masuk ke pedalaman
Kalimantan bagian Indonesia ke daerah Sungai Iwan (Malinanu, Kalimantan Utara).
Untuk beberapa tahun lamanya, masyarakat etnis Bakung terus berpindah, sehingga
sempat mendiami atau mendirikan beberapa desa sepanjang Sungai Iwan kemudian
Sungai Kayan, demikian juga selama itu mereka tersebar ke beberapa daerah membentuk
desa masing-masing sebarannya.
Masuknya etnis Bakung ke wilayah yang alhasil dikenal desa Metun Sajau
dipimpin oleh Gung Ajang dan Lifan Usat tahun 1983. Anggota masyarakat
yang bergabung dalam kelompok perjalanan berasal dari dua desa yaitu, Long
Metun dan Sungai Anai. Harapan urbanisasi mereka adalah untuk mendekati daerah
perkotaan (Tanjung Selor) agar mudah memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari,
pendidikan formal, dan pelayanan kesehatan.
Masyarakat yang berasal di Long Metun dan Sungai Anai selama dalam perjalanan
didampingi dua orang tokoh Kristen (Ev. Obed Ingan dan Pdt. Binyamin Njau). Bagi
masyarakat pada saat itu, kedua tokoh ini sangat penting. Mereka melewati rute
yang buruk, jauh, dengan melalui jalur darat (berjalan kaki) dan jalur air
(berperahu). Jalur darat yang dilalui masih berupa hutan rimba dan gunung.
Sedangkan jalur air terdapat banyak giram kecil maupun besar, seringkali mereka
harus meninggalkan beberapa barang, bahkan perahu karena tak mampu melewati
giram Sungai Bahau dan Sungai Kayan.
Waktu perjalanan menuju Metun
Sajau mencapai tiga bulan (2 Agustus – November 1983) tanpa hambatan berat yang
berarti, bahkan dikatakan, masyarakat sangat bahagia sepanjang perjalanan
dimana nilai kepercayaan mereka terus tumbuh. Saat itu mayoritas masyarakat
etnis Bakung menganut agama Kristen. Sepanjang perjalan, setiap hari Minggu
mereka mendirikan perkemahan untuk mengadakan kebaktian. Juga dikatakan,
beberapa anak lahir semasa perjalanan menuju Metun Sajau.
Oleh, Robert


